Rabu, 04 April 2012

Sukses dan Arogansi

Judul Motivasi : Sukses dan Arogansi
Oleh : Pengacara
Sukses dan Arogansi 
Seorang CEO dari perusahaan Fortune 100 mengatakan,
Success can lead to arrogance. When we are arrogant, we quit listening. When we quit listening, we stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fail.
 (Sukses bisa membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan. Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yg terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti berubah, maka kita akan gagal).
Itulah sisi negatif dari kesuksesan, yakni arogansi. Arogansi muncul saat seseorang merasa diri paling hebat, paling luar biasa, dan paling baik dibandingkan dengan yg lainnya. Penyakit mental ini bisa menjangkiti apa dan siapa saja, mulai dari organisasi, produk, pemimpin, sampai orang biasa. Khusus pada tulisan ini, kita akan membicarakan soal manusianya.

Orang sukses lalu bersombong ria sebenarnya patut disaygkan. Baygkan saja, saat berjuang keras menggapai kesuksesan, mereka begitu terbuka untuk belajar. Mereka mau mendengarkan. Mereka mau berjerih payah, berani hidup susah, dan mengorbankan diri. Bahkan, mereka tampak sangat ‘merakyat’ hidupnya. Akan tetapi, itu dulu. Sayg sekali, saat kesuksesan datang, mereka lupa diri. Mungkin dia akan berkata, “Saya sudah berhasil mencapai yg terbaik. Sekarang, Andalah yg harus mendengarkan saya. Saya tidak perlu lagi mendengarkan Anda.” Hal itu diperparah lagi ketika mereka dikelilingi oleh para ‘yes man’ yg tidak berani angkat bicara soal kekurangan orang ini. Hal ini membuat orang itu semakin ‘megalomania’ , pongah, angkuh, dan egois. Ia terbelenggu oleh kesuksesannya sendiri. Ia tidak pernah belajar lagi.

Ada Seorang Pebisnis, dia menceritakan susah payahnya membangun bisnisnya. Cerita yg mengharukan sekaligus heroik ketika dia harus tidur di kolong jembatan saat tiba di Jakarta ketika remaja. Dengan susah payah dia merangkak dari bawah untuk bertahan hidup. Menikah tanpa uang sepeser pun. Hidup di rumah kontrakan kecil. Akan tetapi, dia tidak patah arang. Dia mengamati cara kerja orang sukses, mencontoh, dan memodifikasi sendiri produknya. Sekarang, dia pun berjaya. Tiga pabrik besar ada di genggamannya.

Namun, sayank sekali. Perusahan itu sedang diterpa badai masalah internal. Pemicunya tak lain adalah sikap pemimpin yg arogan. Dia otoriter dan antikritik. “Kalau saya bisa, kalian juga harus bisa,” katanya pongah. Dia pun menolak ide-ide baru. Dia mengelola perusahaan dengan serampangan. Turn over karyawan pun tinggi. Sisanya hanya kelompok para ‘penjilat’ yg tidak berani melawan. Dia menginginkan anak buahnya di-training. Padahal, dia sendiri yg perlu up date diri dengan training.
Arogansi bisa menghampiri siapa saja. Termasuk seorang pendidik, guru, dosen, yg tiap hari memberi suatu bagi orang lain.
Dari situ, kita belajar banyak untuk hati-hati. kesuksesan jangan membuat kita arogan dan cenderung self centered serta tidak mau mendengarkan orang lain. Dunia begitu mengenal sosok Mao, Hitler, ataupun Stalin. Mereka berjuang dari basis bawah menuju pucuk kepemimpinan. Mereka pun berjuang untuk perubahan di masyarakatnya. Idealisme mereka sangat luar biasa. Orang pun dibuatnya kagum. Namun, mereka lupa daratan ketika sukses. Mereka memonopoli kebenaran tunggal alias antikritik dan antipembaruan. Mereka memimpin dengan tangan besi. Korban pun bergelimpangan dari tangannya. Begitu juga dalam sejarah bisnis. IBM yg begitu besar dan terkenal pernah mengalami kemerosotan saat arogansi membekap sikap dan pikiran para pemimpin mereka.

Terjebak retorika

Namun, itulah yg terjadi apabila orang berhenti belajar dan merasa diri sudah selesai. Tanpa dia sadari, lingkungannya terus belajar, berinovasi, dan berkembang. Sementara, dia mandek di posisinya. Akibatnya, kue kesuksesan yg dia peroleh lama-kelamaan menjadi basi. Tanpa sadar, kompetitor mereka bergerak jauh meninggalkan dirinya di belakang. Mereka terjebak dalam retorika, kalimat, jurus yg itu-itu saja alias usang. Arogansi telah menutup hati dan pikirannya untuk kreatif menemukan jurus dan tip-tip baru mempertahankan sekaligus mengembangkan kesuksesannya. Di sinilah, arogansi berujung pada malapetaka dan kehancuran.

Jadi, bagaimanakah tipsnya agar kesuksesan kita tidak berubah menjadi arogansi?
  1. Aware (sadar) dengan sikap dan tingkah laku kita selalu. Meskipun sudah sukses, kita perlu memberi waktu untuk menyadari sikap dan perilaku kita di mata orang lain. Selalulah sadar apakah nada dan ucapan serta tindak tanduk kita sekarang semakin membuat banyak orang lain terluka? Apakah kita masih tetap menghargai orang lain? Apalagi orang-orang yg telah turut membawa Anda ke level sukses sekarang, apakah Anda hargai? Jangan sampai, tatkala masih bersusah payah, kita begitu respek, tetapi setelah sukses justru mencampakkan mereka.
  2. Waspadai umpan balik yg hanya menghibur kita tetapi tidak membuat kita belajar lagi. Hati-hati dengan orang di sekeliling kita yg hanya mengatakan hal bagus, tetapi tidak berani memberikan masukan yg baik. Kadang, masukan negatif juga kita perlukan demi perkembangan, sesukses apa pun kita.
  3. Awasi dan peka dengan perubahan yg terjadi. Dalam buku Who Moved My Cheese disimpulkan bahwa kita harus selalu mencium keju kita, apakah sudah basi ataukah mulai diambil orang lain. Kita pun harus terus mencium dan peka bagaimana orang lain mengembangkan dirinya serta bisa jadi ancaman bagi kita. Jangan pula merasa diri paling hebat dan lupa belajar.
  4. Sopan dan rendah hati untuk belajar dari orang lain.
    Semoga tulisan ini menginspirasi Anda untuk meraih sukses sejati. kesuksesan yg membuat Anda tidak arogan. Baiknya kita tutup tulisan ini dengan kalimat kuno yg seringkali sudah kita dengar. “Di atas langit masih ada langit yg lain”.

    semoga ada jalan
    Jangan lupa di SHARE ke temen2 dan jangan lupa tinggalkan komentar walau satu kata
    loe suka loe komentar